deskripsi gambar
News Update :

DIALOG ANTAR AGAMA DI INDONESIA (Konteks Historis)

Selasa, 27 Agustus 2013

DIALOG ANTAR AGAMA DI INDONESIA
(Konteks Historis)



      A.    Pendahuluan

“No peace among the nations, without peace among religions. No peace among religions, without dialogue between the religions. No dialogue between the religions, without investigation of the foundation of the religions”.[1]

Adalah nyata bahwa di dalam setiap agama terkandung dua macam kecenderungan ajaran, yang tampak saling bertentangan. Pertama, kecenderungan yang megajarkan bahwa agama yang dianut oleh seseorang adalah agama yang paling benar, rnutlak, superior, dan menyelamatkan; sedang orang-orang yang beragama lain adalah sesat, kafir, celaka, dan harus dijauhi atau dibujuk agar mengikuti agamanya. kedua, ajaran bahwa setiap orang harus dihormati, dicintai, tidak ada paksaan dalam agama, dan dianjurkan berbuat kebajikan kepada siapa saja; bahkan kebaikan ini dianggap sebagai inti dari setiap agama.[2]

Indonesia sebaga negara yang  plural baik dari segi agama maupun budaya, di satu sisi memang masyarakatnya hudup rukun saling berdampingan meski begitu, tidak berarti tidak ada masalah dalam hubungan antar komunitas agama di Indonesia, sebagian masalah bahkan berujung pada kekerasan.[3]Kekerasan berskala besar seperti yang terjadi di Maluku dan Poso memang tidak terjadi lagi beberapa tahun belakangan ini, namun ketegangan-ketegangan masih terus berlanjut.

            Persoalan menyangkut rumah ibadah, misalnya, masih menjadi ganjalan serius daiam hubungan antarkomunitas agama, khususnya Kristiani dengan Muslim. Setiap tahun masih tercatat belasan kasus menyangkut rumah ibadah, terutama menyangkut gereia, dan sebagian berupa kekerasan dalam bentuk penutupan paksa atau bahkan pembongkaran bangunan rumah ibadah. Telah ada peraturan yang diperbarui pada 2006 (Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Thhun 2006) untuk memastikan semua warganegara mendapatkan hak beribadahnya' namun penegakan hokum seringkali tidak berjalan dengan baik.

            Jenis ketegangan lain yaitu yang menyangkut meningkatnya wacana penyesatan dan dalam beberapa kasus juga berakhir dengan kekerasan. Pada 2009 saja, Laporan Tahunan CRCS mencatat 25 kasus Penyesatan dan 11 kasus lain khusus menyangkut pengikut Ahmadiyah, SKB yang dikeluarkan Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung pada Juni 2008 mengenai Ahmadiyah tidak menyelesaikan masalah, malahan mungkin memberi justifikasi terhadap tindak kekerasan oleh beberapa kelompok masyarakat atas Para pengikut Ahmadiyah. Apa yang dialami Ahmadiyah itu hanyalah ekor dari kekerasan-kekerasan fisik yang telah mereka alami pada tahun-tahun terakhir ini.

            Diluar ketegangan-ketegangan tersebut, masih ada masalah-masalah lain menyangkut hubungan antar maupun intra kelompok agama di Indonesia. Misalnya, kelompok-kelompok agama nonresmi (di luar enam agama yang diakui hukum Indonesia) maupun aliran kepercayaan masih mendapat diskriminasi secara hukum. Mereka memang bisa hidup di Indonesia, tapi pemerintah tidak memberikan perlindungan yang sama dengan perlindungan maupun bantuan yang diberikan kepada enam agam yang resmi diakui pemerintah (bahkan, bisa dikatakan, perlindungan hanya diberikan kepada kelompok arus utama dalam keenam agama itu, sementara kelompok-kelompok bukan arus utama tidak dilindungi, contohnya kasus Ahmadiyah dalam Islam atau Saksi Jehovah dalam Kristen).[4]

Makalah Selengkapnya lihat di : In Progress...


[1] Kutipan di atas berasal dari Hans Kung, teolog liberal yang sekarang aktif mempromosikan dialog antar-agama khususnya di lingkungan teolog Kristen, lihat, Olaf Herbert Schumann, Agama dalam Dialog; Pencerahan, Pendamaian dan Masa Depan, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 203, Lihat juga, Hans Küng, etc, Jalan Dialog Hans Küng dan Perspektif Muslim, (Jakarta: Mizan, 2009), hlm. 5

[2] Burhanuddin Daya, Agama Dialogis; Merenda Dialektika dan Realitas Hubungan Antaragama, (Yogyakarta: Mataram Minang Lintas Budaya, 2001), hlm. 1

[3] Lihat, Zainal Abidin Bagir, etc, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010, Yogyakarta: Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM, 2011

[4] J.B. Banawiratama, Zainal Abidin Bagir, etc, Dialog Antarumat Beragama; Gagasan dan Praktik di Indonesia, (Jakarta: Mizan, 2010), hlm. 14-16



Share this Article on :

0 komentar :

Posting Komentar

 

© Copyright Ceiist 2012 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Modified by Haris Media .